FAI Ikuti FGD RUU P-KS Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Yogyakarta – Pada hari Ahad tanggal 10 Maret 2019 yang bertepatan dengan tanggal 3 Rajab 1440 H. Fakultas Agama Islam Universitas Ahmada Dahlan (FAI UAD) mendapat undangan untuk menghadiri Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Majelis Tarjih dan Tabligh (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muh). Perwakilan dosen FAI UAD yang mengikuti kegiatan tersebut ada beberapa, seperti, Ferawati, M.Hum, Akhmad Arif Rifan, M.S.I., Niki Alma Febriana Fauzi, M.Us., dan Rahmadi Wibowo, M.Hum. Dua nama terakhir merupakan dosen FAI UAD yang juga aktif bertugas di Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. FGD kali ini membahas tentang respon Muhammadiyah terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Tarjih Muhammadiyah dan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bertempat di Hotel Grand Dafam Rohan.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) terkait dengan nilai agama dan moral. Oleh karena itu, RUU P-KS ini menurutnya perlu dilihat secara jernih dari berbagai sudut pandang. Pada prinsipnya, peraturan perundangan tidak boleh bertentangan dengan agama sebagai salah satu sumber nilai. “Nilai-nilai moral mengalami perkembangan,” tuturnya. Dalam Islam, hukum dan moral tidak bisa dipisahkan. Forum ini bertujuan menjaring masukan mengenai materi RUU P-KS, khususnya dari sudut pandang hukum Islam.
Agama adalah salah satu sumber hukum di Indonesia. Biasanya dikatakan bahwa memang ada tiga sumber hukum materi di Indonesia itu, agama itu sendiri, hukum barat dan hukum adat. “Hukum agama dan adat dalam banyak hal sering menyatu karena juga apa yang diajarkan dalam agama kalau diimplementasikan dalam adat istiadat dan banyak juga adat istiadat itu banyak diserap dalam agama karena di dalam agama Islam ada kaidah adat istiadat itu dapat menjadi dasar hukum jika tidak bertentangan dengan Al Quran dan as sunnah serta adat istiadat itu sudah menjadi berkembang dan meluas di masyarakat,” terang Syamsul. Oleh karena itu, lanjut Syamsul, apapun peraturan perundang-undangan yang akan dibuat tidak boleh bertentangan dengan agama, dan harus sesuai dengan sila yang pertama, yakni Ketuhanan yang Maha Esa.
Syamsul juga menerangkan bahwa para ahli hukum memang memperdebatkan hubungan moral dan hukum. Oleh karena itu, lanjut Syamsul, FGD kali ini peserta mencermati RUU PKS yang tidak lepas kaitannya dengan ajaran agama dan moral agama. Diharapkan dari FGD ini, Muhammadiyah memiliki pandangan dan sikap dalam menaggapi RUU P-KS, serta memberikan solusi yang mencerahkan bagi Ummat dan bangsa. (MA&S)