Siapa Pun Pemenang Pilpres AS, Nasib Konflik Timur Tengah Juga Akan Terpengaruh
Yogyakarta, FAI TERKINI –Sebagai negara yang punya pengaruh kuat di dunia, hasil pemilihan presiden Amerika Serikat ( AS) juga dapat memengaruhi gejolak konflik di Timur Tengah. “Negeri Paman Sam” memang memiliki hubungan rumit dengan sejumlah negara Timur Tengah, seperti Afghanistan yang di ambang berakhirnya invasi AS selama hampir dua dekade. Lantas bagaimana hasil pilpres AS 2020 akan memengaruhi dinamika hubungan AS dengan konflik-konflik di Timur Tengah? Berikut beberapa poin pentingnya.
Sesuai perjanjian AS dengan Taliban pada akhir Februari, Trump berjanji akan menarik pasukan dari Afghanistan secara bertahap dengan imbalan gencatan senjata dari kelompok ekstremis tersebut. Trump ingin pasukan AS pulang sebelum Natal, kata Ketua Staf Gabungan Jenderal Mark Milley di radio NPR pada Senin (12/10/2020). Milley juga menekankan bahwa penarikan 4.500 tentara terakhir bergantung pada pengurangan intensitas serangan Taliban, dan kemajuan progres pembicaraan damai dengan pemerintah Kabul.
Lantas, bagaimana nasib kesepakatan ini jika Trump lengser? Dr Yoyo, Ketua Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, berpendapat, kalahnya Trump bisa jadi akan membuat AS memiliki kebijakan berbeda terhadap Timur Tengah, terutama jika Joe Biden memilih pendekatan berbeda. Meski begitu, isu Taliban-AS ini juga bisa menjadi kekuatan Trump untuk memenangi suara di kalangan tentara “Negeri Paman Sam”. “Paling tidak dia bisa menggaet dukungan dari keluarga tentara-tentara yang sudah menunggu kepulangan kerabatnya,” ujar Yoyo saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon pada Jumat (30/10/2020).
Sementara itu, untuk ISIS, lengsernya Trump kemungkinan bisa menjadi momentum kebangkitan “tapi power-nya tidak sebesar dulu, (karena) sudah kehilangan figur-figur penting,” lanjut Yoyo. Dibandingkan kekuatan regional seperti Rusia dan Turki, AS terbilang berhasil mencengkeram negara-negara Timur Tengah yang strategis. Dr Yoyo yang juga menjabat Ketua Progam Studi Bahasa dan Sastra Arab UAD menerangkan, ada tiga pilar kebijakan AS di Timur Tengah yaitu minyak, Israel, dan stabilitas nasional. Berbicara tentang Israel, sejauh ini sudah ada lima negara Timur Tengah yang menjalin normalisasi hubungan dengan negara tersebut. Setelah Mesir pada 1979 dan Yordania 1994, tiga negara sekaligus yakni Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan menyusulnya tahun ini. “Saya kira ke depan mereka (AS) akan memainkan peran strategis, isu normalisasi akan jadi isu pertama,” lanjut Yoyo. Namun beda halnya dengan kebijakan minyak, yang menurut Yoyo sudah dikurangi prioritasnya karena AS sudah menemukan alternatif lain dari energi terbarukan.
Hampir 2 dekade lamanya Afghanistan diinvasi AS. Lalu apakah situasi itu membawa perubahan budaya ke negara pimpinan Ashraf Ghani tersebut? “Saya masih percaya dengan tesisnya Hisham Sharabi, bahwa masyarakat Arab itu sedang bertransformasi dari bentuk patriarki lama ke dalam bentuk patriarki baru (neo patriarki),” ucap Yoyo. Patriarki baru yang dimaksud adalah demokrasi di kelompok tertentu. Contohnya di Mesir dan Irak yang belum menemukan format terbaik dari negara mereka. Akan tetapi Yoyo menerangkan, perubahan budaya ini tidak terlalu banyak dipengaruhi AS karena sejak 1967 orang-orang Arab sudah fokus dengan isu-isu internal. “Jadi pengaruh luar itu tidak terlalu besar dalam artian dari sisi dimensi transformasi kebudayan”. Ada juga faktor “Ketidaksiapan para pemimpin Arab baru untuk melakukan transformasi yang sesungguhnya.” Yoyo menerangkan, yang betul-betul berhasil mengubah sistem politik maupun sistem kebudayaan pasca-Arab Spring adalah Tunisia, karena ada dialog dengan kelompok-kelompok lain kemudian menemukan solusi yang tepat berupa konstitusi 2014.