Di Syawalan UAD, Haedar Nashir: Empat Hikmah ini Perlu Direnungkan
FAI UAD-FAI NEWS. Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan Syawalan Universitas pada 17/04/2024. Syawalan UAD diikuti oleh seluruh dosen dan karyawan serta purna tugas yang turut hadir memenuhi ruang utama masjid Islamic center lantai 2 dan 3.
Sebelum dimulainya acara, diumumkan pula dalam kesempatan tersebut informasi tentang dosen dan karyawan yang akan berangkat ibadah haji pada tahun ini. Terkait hal tersebut, Dr. Abdul Ghofar, M.Si, dosen PAI UAD, diminta memberikan sambutan sebagai perwakilan yang akan berangkat haji.
Rektor UAD, Prof. Dr. Muchlas, M.T dan ketua BPH UAD Prof. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M kemudian memberikan sambutan mengawali acara syawalan sebelum tausiyah dan amanat dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si
Saat memberikan tausyiyah, Haedar Nashir menekankan tentang hikmah silaturrahim yang mengandung empat nilai penting di dalamnya. Nilai pertama adalah “Washathiyah” (tengahan), sebagai nilai keseimbangan dalam kehidupan. Puasa yang dilakukan setiap tahun mestinya memperoleh buah atau hikmah manfaat puasa salah satunya melatih keseimbangan nafsu inderawi. Kebutuhan urusan duniawi dan agamawi tidak boleh melebihi batas yang mendatangkan mudhorat yang lebih besar. Menurutnya, kita perlu mencari titik temu dalam hidup agar keserakahan cara berpikir dan bertindak tidak semena-mena menguasai pikiran dan hati.
Nilai kedua adalah “keadaban”. “Terjadinya kemerosotan dan disrupsi etika menyebabkan kekacauan yang didorong oleh abainya terhadap prinsip moral dan etik” ujar Haedar. Ia menggali kembali profil seorang muslim sejatinya menunjukkan sikap yang berakhlak, namun seolah-olah anomali fakta di lapangan justru jauh dari karakter bangsa Indonesia yang sebetulnya mayoritas diisi oleh umat Islam. Kecenderungan tersebut, Haedar menyangsikan nilai keadaban itu belum seutuhnya terlihat, karena belakangan kekacauan dan keresahan sosial di masyarakat masih cenderung menempatkan egoisme pribadi dan golongan sebagai tameng utama.
Nilai ketiga adalah “kemajuan”. Nuansa syawalan pasca Ramadhan seharusnya menunjukkan nilai kemajuan. Sebagai bentuk kemajuan tersebut, Haedar kemudian memproyeksikan bahwa sebagai “ummatan wahidah” sebetulnya dapat memberikan inspirasi kemajuan. Hal tersebut juga tergambar dari pengalaman UAD sebagai PTMA mengalami naik turun dan jatuh bangun sampai pada akhirnya bisa menjadi salah satu universitas terbaik. Proses dan rangkaian perlu diakui, bahwa PTMA saat ini menjadi role model (pengelolaan) institusi perguruan tinggi yang dilirik oleh berbagai universitas lainnya. Boleh dikatakan ini bagian dari keberhasilan menerjemahkan khittah Muhammadiyah dalam berbagai bentuk kemajuan.
Nilai keempat adalah “Ukhuwah” (persaudaraan). Permasalahan bangsa tentang krisis moral pada akhirnya bermuara pada konflik sosial, “dalam kacamata sosiologi, konflik sosial telah menghabiskan energi berkepanjangan, rasa angkuh dan ketinggian egoisme terkadang sulit menempatkan kata maaf apalagi memaafkan. Ini yang barangkali menyebabkan pudarnya rasa persatuan dan persaudaraan” jelas Haedar. Di akhir tausyiahnya, Haedar Nashir kemudian mengajak segenap dosen dan karyawan UAD sebagai warga Muhammadiyah selayaknya merenungkan kembali hikmah puasa dan syawalan yang menjadi refleksi bersama dalam menyempurnakan ikhtiar kehidupan yang berkeadaban, tawassuth, berkemajuan dan berukhuwwah. (Arif)