FAI Sambut Kunjungan Kelembagaan KOPERTAIS III
Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Ketua Koordinator Pergguruan Tinggi Agama Islam (Kopertais) III Wilayah Yogyakarta pada Rabu 20 September 2017 kemarin. Prof. Dr. K.H. Yudian Wahyudi, M.A. Ph.D (selanjutnya disebut Prof. Yudian)—yang sekaligus Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga—di dampingi sekretaris Kopertais III, yakni Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A., serta beberapa staf lainnya. Kunjungan tersebut disambut hangat oleh Dekan FAI, Drs. Parjiman, M.A. didampingi wakil Dekan FAI, Dr. Rika Astari, M.A. serta para Kaprodi, seperti Dr. Suyadi, M.Pd.I (Kaprodi S2 PAI), Dr. Waharjani, M.Ag (Kaprodi Tafsir Hadis), Arif Rahman, M.Pd.I (Prodi PAI), dan Akhmad Arif Rifan, S.H.I., M.S.I (Kaprodi Perbankan Syariah).
Setelah mengucapkan selamat datang, Dekan FAI mempersilahkan Koordinator Kopertais III Yogyakarta beserta rombongan menyampaikan maksud dan tujuannya berkunjungan ke FAI-UAD. Prof. Yudian meyampaikan bahwa kunjungan tersebut merupakan agenda Kopertais III secara rutin ke seluruh PTAI swasta di Yogyakarta sebagai bentuk monitoring, evaluasi dan pembinaan.
Sebagai Tokoh NU, ia mengenalkan diri sebagai orang yang dulu ketika dirinya menikah, yang menikahkan adalah Pimpinan Muhammadiyah, yakni K.H. AR Fahruddin. Alumni pesantren Tremas, Jawa Timur yang kini menjadi Kiyai di Pondok Pesantren Nawesia Yogyakarta itu juga sangat optimis terhadap FAI UAD karena di bawah naungan perserikatan Muhammadiyah yang sejak masa penjajahan telah masuk sistem, sedangkan NU belum. Peraih Master dari McGill University, Canada Ph.D dari Harfad University, Amerika itu juga memandang bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi Islam swasta yang paling berhasil di abad XXI. Indikasinya—sambil bercanda—setiap ada kegagalan dalam “suksesi”, tidak bermasalah, berbeda dengan yang selama ini tejadi di tubuh NU. Penulis buku Jihad Ilmiah dari Tremas ke Harvard itu juga sempat menyinggung UNU di sebelah utara kampus V UAD, bahwa menurutnya, sepuluh tahun ke depan dimungkinkan akan turun menjadi IAINU bahkan STAINU, kecuali mereka mau mendengar nasehat Kiainya yang dari Harvard ini (candanya sambil berkelakar). Pasalanya, NU hanya memiliki Pesantren, tidak memiliki sekolah yang mempelajari ilmu-ilmu umum seperti di muhammadiyah. Oleh karena itu, Ia optimis FAI. UAD semakin survival terlebih lagi dengan pembinaan dan monev dari Kopertais III Yogyakarta, seperti sekarang ini.
Meskipun demikian, ia kurang sepakat dengan pendapat sebagian kalangan Muhammadiyah yang menyatakan bahwa kemunduran umat Islam lebih dikarenakan menyimpangnya terhadap Alquran dan Hadis (baca taqlid, bi’ah, dan curofat). Baginya, hal itu hanya efek samping—bukan sumber—karena menurutnya, kemuduran dunia Islam lebih dikarenakan umat Islam sendiri yang membuang experiment sciencess dari kurikulum madrasah sejak abad XII. Buktinya, tigarastus tahun kemudian terjadi revolusi industri awal. Andalusia, yang semula di bawah kekuasaan orang arab muslim, tiba-tiba mengalahkan umat Islam, menemukan amerika dan menjadi menaklukkan dunia. Tetapi, sekolah-sekolah Muhammadiyah sendiri lebih mengembangkan experiment sciencess dari pada ilmu Alquran dan Hadis, sehingga lulusan Muhammadiyah didominasi Ilmuwan dari pada Ulama.
Di samping itu, dalam konteks yang lebih praktis, kita harus mengikuti peraturan dan UU Pendidikan sebagai “amar ma’ruf nahi munkar.” Caranya, kita harus mengubah teori seleksi alam Darwinisme (natural selection) menjadi academic selection (misalnya jumlah dosen setiap prodi minimal 6, IPK mahasiswa S1 minimal 2,75; S2 minimal 3.0) termasuk administrative selection (akreditasi prodi minimal B) hingga religious selection (hafal minimal juz 30). Oleh karena itu, jika prodi meluluskan mahasiswa akreditasi C, maka hal itu dapat dipandang sebagai “kemungkaran.” Sebaliknya, jika PT dapat mengikuti semua peraturan terkait, hal itu dapat dikatakan sebagagi “ma’ruf.”
Selanjutnya, Seketaris Kopertais III, Prof. Dr. H. Maragustam Siregar M.A., yang juga dosennya beberapa dosen FAI, seperti Zalik Nuryana dan Arif Rahman, menambahkan bahwa FAI perlu serius mengaktifkan NORM dan NIRL. Dalam hal ini, besok tanggal 27-28 September akan diadakan capasity building khusus bagi operator Emis di wilayah Kopertais III. Di samping itu, ia menghimbau agar dosen-dosen FAI yang masih muda-muda ini didorong untuk mengurus kepangkatan sebagai amar ma’ruh. Jangan sampai ada dosen yang sudah lama tetapi masih Asisten Ahli. Ini dapat mengurangi point akreditasi. Bahkan Kopertais III Yogyakarta mengagendkan empat kali sidang dalam setiap tahun untuk mempercepat kepangkatan dosen. Menanggapi hal tersebut, Wakil Dekan FAI, Dr. Rika Astari menanyakan perihal pengajuan Lektor Kepala dan Guru Besar dosen FAI dengan NIDN “05”, mengapa lebih lama dari pada dosen non FAI meskipun sama-sama dari UAD. Menanggapi hal tersebut, Prof Yudian masih akan melakukan negoisasi, agar Lektor Kepala dan Guru Besar dosen FAI cukup dilakukan di Kemenag, tidak sampai kepad Kemenristekdikti. Sebab, kemenristekdikti tidak memiliki kapasitas untuk menilai keilmuan agama Islam.
Sambil menunggu negoisasi tersebut berhasil, yang perlu disiapkan para dosen FAI adalah memiliki karya ilmiah yang baik (baca: publikasi pada jurnal bereputasi dan terindeks). Sebab, dosen-dosen FAI biasanya memiliki tradisi menghafal yang kuat, tetapi tidak memiliki kekuatan menulis. Akibatnya banyak dosen yang lemah di bidang ini. Mungkin perlu ada semacam academic writing, imbuhnya.
Dr. Waharjani, M.Ag. juga menanyakan perihal SKPI. Hal ini ditanggapi Prof. Yudian agar masing-masing prodi memperbanyak kegiatan workshop dan pelatihan bersertifikat, sehingga mahasiswa memiliki banyak kompetensi (capaian pembelajajran, baca KKNI). Misalnya, prodi Tafsir Hadis menyelenggarakan workshop takhrij hadis digital. Sebelum pulang, sesampainya di halaman FAI, rombongan sempat berfoto besama sebagai dokumentasi. (Suyadi)